Minggu
Palmyra
hanya sisa-sisa reruntuhan bangunan kuno monumental yang terhampar di Kota Palmyra, Suriah. Siapa sangka, menurut sejarah dan bukti arkeolgi, dulunya di bawah Kekaisaran Romawi, Palmyra merupakan kota metropolis pedagangan.
Lantas, pertanyaan yang hingga kini belum terpecahkan adalah, bagaimana kota yang berada di tengah gurun pasir dan tidak subur dapat berkembang sebagai pusat perdagangan?
Michal Gawlikowski, mantan pimpinan University of Warsaw's Polish Mission di Palmyra mengungkapkan lokasi ini dulunya tempat transit bagi barang-barang dari Asia Barat menuju Roma. "Palmyra adalah sebuah oase di tengah padang pasir," kata dia.
Di antara reruntuhan Kota Palmyra, terdapat jalan-jalan besar sejajar dengan kolam. Serta sisa pasar kuno di mana para pedagang sedang menawar sutra, rempah-rempah, dari India dan Cina.
Arkeolog Jorgen Christian Meyer sejak empat tahun lalu mulai meneliti kota ini dari jarak 104 kilometer dari utara Palmyra. Penelitian dimulai dengan memeriksa kondisi tanah dan citra satelit. Dari situ, para arkeolog menemukan gambaran lebih dari 20 desa pertanian dan 15 pemukiman yang lebih kecil dari yang pernah ditemukan peneliti lain di sebelah barat Palmyra.
"Yang terpenting, peneliti juga menemukan jejak waduk dan saluran air buatan manusia guna menyimpan curah hujan dan badai musiman," kata Meyer dari Universitas Bergen di Norwegia.
Berubahnya Kota Palmyra dari kota yang subur menjadi padang pasir konon karena perubahan iklim secara besar-besaran. "Telah ada pembicaraan serius tentang perubahan iklim sejak zaman dahulu. Beberapa pakar menggunakan ini sebagai penjelasan beberapa kejadian. Namun demikian, ada sebuah konsensus di mana iklim tidak berubah secara dramatis," kata Meyer.
Dipertanyakan pula alasan para pedagang menyinggahi Kota Palmyra sebelum menuju pelabuhan di Mediterania. Karena ada rute yang bisa mereka lalui dan lebih cepat sampai melalui Sungai Eufrat. Atau melalui sepanjang Laut Merah dan menuju Sungai Nil.
Jawabannya, karena Kota Palmyra bebas pajak. Sebagai gantinya para petani lokal mendapat keuntungan dari para saudagar yang menggunakan unta dan kuda sebagai kendaraan mereka. Kuda dan unta digunakan petani lokal untuk membajak sawah mereka setelah panen. "Hewan-hewan tersebut merumput, hal ini memiliki sisi manfaat dapat membantu menyuburkan ladang," ungkap Meyer
Yang disayangkan, konflik yang terjadi di Suriah saat ini tak hanya membuat penelitian lebih lanjut atas kota Palmyra tertunda. Terlebih lagi, menurut Cynthia Finlayson Finlayson, arkelog dari tim AS yang terakhir telah meninggalkan Suriah pada 2011, jika pedesaan sekitar Palmyra telah menjadi rumah bagi milisi bersenjata anti pemerintah (Umi Rasmi. Sumber: National Geographic News)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar